“Aku Lebih suka lukisan Samudra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, ‘Kadyo siniram wayu sewindu lawase’.” (Bung Karno, HUT Proklamasi 1964)
Sembari Mengutip Bung Karno dalam buku “Youth Challenges & Empowerment” (Gramedia Pustaka Utama) saya mengajak muda-mudi Nusantara untuk berpikir, adakah mereka setuju dengan kata-kata Bung Karno tersebut? Atau, mereka memilih sawah yang adem ayem tentrem?
Pilihannya bukanlah sekadar antara sawah dan samudera. Tetapi, antara panas dan api semangat yang membara untuk mengarungi lautan kehidupan, atau berleye-leye, bermalas-malasan duduk di bawah salah satu pohon buah dan menunggu jatuhnya buah.
Banyak pilihan pohon buah: Ada pohon buah orangtua, mertua, saudara. Duduk manis dibawah mereka dan menunggu warisan bisa menjadi salah satu pilihan. Pohon buah lain adalah kawan, kerabat, bahkan oknum-oknum berstatus dan berduit yang senantiasa mencari, bahkan mengejar penjilat untuk menambah percaya diri.
Berada di tengah masyarakat yang lebih sering mengartikan kata harmoni sebagai keadaan adem, ayem, tentrem. Tidak heran bila mayoritas di antara kita memilih duduk di bawah pohon buah. Bahkan, kepercayaan dan Gusti pun kita anggap sebagai pohon buah. Perlu sesuatu, tinggal minta, bersabar, dan menunggu waktu yang tepat!
Sabar adalah salah satu nilai yang mulia. Namun, sabar seperti apa? Sabar setelah berbuat, sabar setelah berjuang, sabar setelah berkarya? Bukan sabar tanpa berbuat, berjuang, dan berkarya. Sabar tanpa berbuat, berjuang, dan berkarya adalah sabar seorang pemalas.
Sebagaimana Saya Jelaskan dalam buku tersebut di atas, berpikir positif pun adalah pertanda seorang pemalas, yang jarang kita pahami bahayanya, implikasinya dalam hidup kita. Seorang pemalas pun berpikir. Ekspresi “males mikir” merupakan lelucon. Sebab, males mikir pun adalah sebuah pikiran. Sebuah pikiran yang tidak membawakan hasil.
Buku “The Secret” oleh Rhonda Byrne memberikan mainan-mainan baru kepada gugusan pikiran serta perasaan atau mind para pemalas. Sebutannya keren, “Law of Attraction”, “Positive Thinking”, dan sebagainya.
Apa yang terjadi setelah itu? Ekonomi di belahan Barat tambah parah. Mereka yang percaya pada buku-buku dari genre tersebut – ratusan yang ditulis dan terbit setelah sukses “The Secret” – dan, hingga saat ini pun belum pulih.
Mengikuti Petunjuk Aneh dari buku-buku sejenis, banyak yang menggunakan uangnya. Bahkan dengan cara meminjam dari Bank, untuk membeli apa saja sesuai keinginan mereka…. dengan penuh keyakinan bahwa “uang akan datang sendiri”. Mereka sudah berpikir positif, tapi Dewi Fortuna, Dewi Keberuntungan membutuhkan undangan berupa kerja-keras, bukan sekedar pikiran positif.
Para pemikir positif lupa bila Rhonda Byrne dan penulis-penulis lain tidak berhenti pada tahap positive thinking saja. Mereka bekerja keras untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan. Jadi, bukan semata-mata dengan berpikir positif seluruh persoalan terselesaikan.
Memilih
Dalam Buku Lain dengan judul “The Hanuman Factor”, saya mengajak para pembaca untuk menengok ke belakang. Fenomena “The Secret” bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya, sekitar tahun 1910an pernah terjadi fenomena yang sama, ya, bukan mirip, tapi persis sama. Hasilnya Crash of 1929 – di mana seluruh ekonomi dunia terpengaruh.
Tentunya, mengikuti prinsip utama Ilmu Ekonomi, jika ada yang merugi, maka sudah pasti ada yang meraih keuntungan dari kerugian tersebut. Nah, siapa yang mengambil keuntungan dari kerugian-kerugian besar seperti itu adalah persoalan lain. Yang layaknya dibahas oleh para ekonom dan policy makers. Bukan jatah saya.
Urusan kita adalah mau memilih samudera atau sawah… Berpikir positif saja sambil menunggu jatuhnya buah, wafatnya orang tua, mertua, saudara, atau sedekah dari mereka yang suka dijilat atau bekerja keras untuk mewujudkan impian kita. Demikian…
*Anand Krishna – Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)
Comments