“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” – demikian kata salah seorang Pendiri Republik Indonesia, Presiden Pertama, Bung Karno. Dan, kita pun sering mengutip beliau, walau salah-salah…. ‘Meninggalkan’ kita sering tafsirkan sebagai ‘melupakan’.
Saat peringatan 112 tahun kelahiran Soekarno di Jakarta, (6/6/2013), putra beliau, Guruh Soekarnoputra menjelaskan: “Istilah itu diambil dari judul pidato terakhir Bung Karno pada 1966. Kepanjangannya (yang benar), jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Jadi, bukan ‘melupakan’ tapi ‘meninggalkan’ sejarah.
Sepintas, barangkali kita tidak melihat dan memahami perbedaan antara kedua kata tersebut: Meninggalkan dan Melupakan. Namun, bagi Bung Karno, Sang Putra Fajar, kiranya pilihan kata ‘meninggalkan’ bukanlah tanpa alasan. Bisa saja kita tidak melupakan sejarah. Bisa saja kita mengingat sejarah kita, atau lebih tepatnya menghafal tahun dan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kita. Namun ingatan seperti itu tidak menjamin bahwa kita tidak meninggalkan sejarah.
Pendek Kata: Kita bisa mengingat sejarah, tidak lupa sejarah, tapi meninggalkannya. Ini bahaya. Kiranya, ini maksud Bung Karno… sehingga beliau memilih kata ‘meninggalkan’ – Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Jangan, jangan selalu dipersingkat menjadi ‘Jasmerah’ – ini adalah salah satu kebiasaan buruk kita. Kita punya kebiasaan mempersingkat apa saja, kemudian lupa apa panjangan dari singkatan itu.
Pada ekstremnya, sejarah bangsa pun telah kita persingkat. Ada yang menariknya ke belakang hanya sampai masa peralihan antara ‘apa yang biasa disebut Orde Baru dan Orde Lama saja.
Kesatuan
Peringatan Bung Karno supaya kita tidak meninggalkan sejarah tidak bisa dibatasi hingga sejarah suatu masa tertentu. Sejarah bangsa kita ada suatu kesatuan – dari apa yang biasa disebut prasejarah hingga sejarah modern.
Untuk memahami sifat dan watak Manusia Indonesia, untuk memahami kelebihan dan kekurangan di dalam diri kita. Untuk menentukan langkah kita ke depan dengan memahami potensi dalam diri secara akurat – tidaklah cukup bila kita hanya mengingat sejarah Orde Baru, Orde Lama, Majapahit atau Sriwijaya saja. Padahal itu pun jarang kita lakukan.
Apa yang menjadi faktor utama kesuksesan kita sebagai suatu bangsa di zaman Sriwijaya? Apa yang menjadi kekuatan kita di zaman Sailendra dan Sanjaya? Apa pula yang menjadi kelemahan-kelemahan kita? Dan, tidak kalah penting pula, apa yang mengantar bangsa ini pada kejayaan, kemegahan, dan keagungan dinasti-dinasti besar itu?
Kekuatan kita adalah entrepreneurship – perdagangan menjadi kekuatan kita. Bukan saja perdagangan antara dan antar pulau – tapi perdagangan antar-bangsa, inter-nusa! Mari kita menyimak dari statistik:
Beberapa waktu yang lalu, saat menyerahkan penghargaan kepada para pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2016. Menkop dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga menyatakan: “rasio wirausaha Indonesia yang pada 2013/2014 lalu masih 1,67%. Kini berdasarkan data BPS sudah naik menjadi 3,1 % – bagus, tapi janganlah kita puas dengan kenaikan tersebut”. Tidak cukup bila kita mempertahankan rasio tersebut, kita harus meningkatkan terus. Data dari www.statistica.com mengungkap bahwa kita berada jauh di bawah Australia (8,8%), bahkan Iran (6,9%), Hongkong (5%) dan Shina (4,5%).
Atau menggali diri lebih dalam lagi dan menilai diri dengan membandingkan keberhasilan masa kini dengan apa yang pernah kita capai di masa lalu. Di sinilah prinsip ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’ menjadi sangat penting. Ketika hampir dua pertiga dunia masih belum bangkit, kita sudah go-global, kita sudah berdagang. Kita sudah mengekspor rempah-rempah dan hasil bumi lainnya ke mancanegara.
Memeriksa Fondasi
Sayang, kita tidak lagi mengingat masa lalu kita. Kita telah meninggalkan sejarah masa lalu. Kita tidak tahu apa yang pernah menjadi kekuatan kita! Lalu, adakah manfaat kita bernostalgia tentang masa lalu? Tidak, tidak ada. Ini bukanlah urusan bernostalgia.
Urusannya adalah memeriksa fondasi kita. Sehingga kita bisa menentukan jumlah lantai yang dapat kita bangun dengan menggunakan fondasi tersebut. Banyak di antara kita yang berhenti pada tahap bernostalgia. Sia-sia, tidak berguna. Kenalilah potensi diri, ketahuilah kekuatan diri – namun, kemudian, jangan berhenti!
Fondasi kita cukup kuat, kita memiliki potensi – mari kita membangun bersama!
*Anand Krishna – Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 buku, Pendiri Anand Ashram ( www.anandkrishna.org)
Comments