Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspad
Raden Ngabehi Rangga Warsita (1802-1873)
Bagi Orang Jawa yang masih menjunjung tinggi ke-jawi-annya, syair diatas sudah tidak asing lagi. Lain hal bagi mereka yang sudah lupa akan ke-jawi-annya – barangkali nama sang pujangga pun tidak bunyi, siapa dia?
Begitu pula dengan makna syair tersebut, barangkali ada yang sudah tidak mengerti lagi. Just to refresh our memory, syair ini mengingatkan bila hidup di tengah zaman edan memang susah jika kita takut tidak kebagian potongan kue yang sedang dinikmati para edan. Namun, sang penyair mengingatkan mengingatkan pula, bila senikmat-nikmatnya hidup mereka yang kebagian kue-edan, Si Eling, Sang Sadar yang tidak ikut menjadi edan, tidak tergoda untuk mengikuti jejak mereka, tetaplah beruntung, tetaplah meraih kebahagiaan sejati, kesuksesan sejati.
Ribuan Tahun sebelumnya, Begawan Abiyasa yang menyusun epos besar Mahabharata, sudah menyampaikan hal yang sama lewat Serat Bhagavad Gita, yang menjadi bagian dari epos tersebut. Bahwasanya: Di dunia ini hanyalah ada dua jalan, dua cara untuk melakoni hidup. Cara pertama disebutnya Preya, Jalan yang Menyenangkan bagi Indera. Dan, jalan kedua adalah Shreya, Jalan yang Mengantar si Pejalan pada Kemuliaan Hidup.
Pilihan di tangan kita. Mau pilih kenikmatan indera yang bersifat sesaat, atau kemuliaan yang adalah kebahagiaan sejati, keberhasilan yang sesungguhnya. Banyak diantara kita tergoda oleh kenikmatan sesaat, oleh sesuatu yang langsung terasa. Indera mana saja, ketika terangsang dan diberi umpan, akan langsung puas. Namun, secepat itu pula, kepuasaanya berakhir, menguap, dan ia mulai mencari sesuatu yang lain.
Demikianlah Ciri-ciri Orang Edan, tidak pernah puas. Selalu mengejar kenikmatan indera, duniawi, selalu haus, selalu lapar. Kebahagiaannya bukanlah kebahagiaan sejati, tetapi sesaat. Sementara itu, mereka yang tidak ikutan menjadi edan, tidak tergoda oleh rangsangan-rangsangan, oleh pemicu-pemicu di luar diri. Mereka tahu bila hidup ini bukanlah urusan fisik saja. Manusia memiliki berbagai lapisan kesadaran. Ada lapisan pikiran dan perasaan; ada lapisan energi atau aliran kehidupan yang menghubungkan mereka dengan alam semesta.
Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah hanya berkonsekuensi terhadap dan pada diri mereka, keluarga, kawan, dan kerabat saja – tetapi terhadap masyarakat luas, terhadap lingkungan, bahkan terhadap kehidupan itu sendiri. Itulah sebab mereka senantiasa dalam keadaan eling, waspada, sadar.
Dalam Keadaan Eling, Waspada, atau Sadar – seseorang selalu mengingat apa yang disebut Golden Rule, Hukum Utama: Perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin dirimu diperlakukan. Inilah inti segala kebajikan, semua kepercayaan.
Demikian, ia tidak ikut menjadi edan, walau hidup di tengah masyarakat yang sudah ke-edan-an di zaman edan ini. Ia tidak menghalalkan segala cara untuk mencari dan mengumpulkan harta. Ia memahami bila kata harta yang berasal dari kata artha dalam bahasa Sansekerta, tidak hanya merujuk pada fulus saja, pada harta-benda saja, tetapi pada “hidup yang berarti, bermakna” – hidup yang tidak hanya menjadi berkah bagi dirinya, tetapi bagi setiap orang yang berinteraksi dengan dirinya, bagi setiap wujud kehidupan di sekitarnya.
Pilihan di Tangan kita – preya atau shreya – hidup demi kenikmatan inderawi yang bersifat sesaat, atau hidup berarti yang mulia dan memuliakan; mengejar sukses sesaat atau keberhasilan sejati; tetap mempertahankan kewarasan diri, tetap eling, atau ikut menjadi edan….
*Anand Krishna – Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 judul buku (www.anandkrishna.org)
Comentarios